Tugas
ETIKA
ADMINISTRASI NEGARA
“Pentingnya Etika Dalam Mewujudkan
Akuntabilitas Pelayanan”
OLEH :
AKANG
ANIMA
213
101 043
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS
LAKIDENDE
KONAWE
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT
karena hanya dengan rahmat-Nya jualah makalah ini bisa saya menyelesaikan
makalah ini sebagai tugas mata kuliah ETIKA ADMINISTRASI NEGARA. Makalah ini
dimaksudkan dapat menambah wawasan kita bagaimana pentingya hidup beretika
dalam pelayanan public dalam mewujudkan akuntabillitas pelayanan.
Makalah ini diharapkan dapat
bermafaat dalam kehidupan sosial khususnya bagi calon-calon administrator yang
nantinya akan menjadi pelayan public yang beretika, bermoral demi membaiknya
pelayanan birokrasi kita di Indonesia Insya Allah,,, Amin.
Akhir kata, kami sebagai mahasiswa
sangat mengharapkan masukan positif dari para pembaca terutama masukan dari
Dosen pengajar untuk perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Konawe, 01 Februari 2017
Penulis
Akang Anima
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................
i
KATA PENGANTAR.............................................................................................
ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1
1.1 Latar
Belakang.................................................................................................
3
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................
3
1.3 Tujuan
Penulisan..............................................................................................
3
1.4 Manfaat
Penulisan............................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
4
2.1 Hubungan Etika Dengan Akuntabilitas...........................................................
4
2.2 Konsep
Etika Dalam Pelayanan Publik............................................................
5
2.3 Etika
Birokrasi Dalam Pelayanan Publik.........................................................
7
2.4
Pengertian Akuntabilitas..................................................................................
10
BAB III PENUTUP..................................................................................................
12
3.1 Kesimpulan......................................................................................................
12
3.2 Saran................................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan publik merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan.
Pelayanan publik yang baik, akan mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan kepuasan
masyarakat. Dalam ranah makro misalnya jika pelayanan dalam investasi baik maka
akan mendorong tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat menyerap tenaga
kerja dan memunculkan usaha baru bagi masyarakat. Selain itu pelayanan publik
juga merupakan cerminan dari kinerja birokrasinya. Jika pelayanan publiknya baik,
logikanya berarti sistem dalam birokrasnya juga berjalan dengan baik. Namun,
jika kualitas pelayanan publiknya rendah, maka logikanya sistem dalam
birokrasinya juga tidak berjalan maksimal.
Pelayanan publik di Indonesia diakui atau tidak memang masih memilliki
banyak permasalahan. Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengungkapkan ada tiga
hal yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia yaitu tingginya angka
korupsi, rendahnya pelayanan publik dan kondisi ketersediaan infrastruktur yang
tergolong masih minim. Permasalahan dalam pelayanan publik salah satunya yaitu
dalam konteks etika. Pelayanan pada birokrasi publik masih diwarnai dengan
pelayanan yang kurang ramah, berbelit-belit, kurang transparan, dan syarat
dengan praktik KKN. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia
menempati peringkat 118 dari 176 negara terkorup di dunia. Fenomena-fenomena
ini semakin menunjukkan etika pelayanan publik di Indonesia masih rendah.
Padahal, seharusnya pelayanan publik harus mampu membuat masyarakat merasa di
tolong dan terpenuhi kebutuhannya.
Fenomena-fenomena red tape tersebut muncul sebagai konsekuensi atas
diskresi yang dimiliki oleh eksekutif. John A. Rohr (dalam Keban, 2008:166)
menyatakan bahwa diskresi administrasi merupakan starting point bagi masalah
moral atau etika dalam administrasi publik. Manajemen pelayanan publik tentunya
harus berdasarkan etika administrator yang baik, jangan sampai diintervensi
dengan kepentingan-kepentingan individu atau kelompok melainkan harus atas nama
kepentingan publik. Jadi kajian etika sangat diperlukan dalam mewujudkan
pelayanan publik yang berorientasi kesejahteraan masyarakat bukan golongan.
Dalam pelayanan public di amerika serikat kesadaran beretika sangat
meningkat sehingga banyak profesi pelayanan public yang telah memiliki kode
etik. Salah satu yang relevan dengan pelayanan public meraka adalah kode etik
yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah
direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan para anggotanya.
Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggota antara lain
integrasi, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh prihatin,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan public diatas kepentingan
lain, bekerja professional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka
dan tranparansi, kreativitas, dedikasi, kasih saying, penggunaan keleluasaan
untuk kepentingan public, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dll.
Pengendalian sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling
menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa
pengandalian tidak dapat berjalan dengan efisien dan efektif bila tidak
ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula sebaliknya.
Dengan begitu akuntabilitas dapat dikatakan merupakan perwujudan dari kewajiban
seseorang atau unit orgnaisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban secara periodic.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah :
1.
Bagaimana hubungan etika pelayanan publik dengan akuntabilitas?
2.
Bagaimana Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik?
3.
Bagaimana Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik?
4.
Bagaimana Pengertian Akuntabilitas?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan nya ialah untuk
mengetahui bagaimana hubungan antara etika dan akuntabilitas sehingga sangat
penting dalam pelayanan yang diberikan kepada masyrakat.
1.4 Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa manfaat yang kita dapatkan
misalnya apa yang di maksdu dengan etika pelayanan public, kita dapat tahu
bahwa sangat penting bagi kita hidup beretika apalagi dalam kehidupan sosial
khusunya beretika dalam pemberian pelayanan public. Bukan hanya beretika itu
untuk kepuasan masyarakat yang dilayani akan tetapi demi membaiknya birokrasi
kita dan memperkuat system pemerintahan kita dan jika semua aparatur
pemerintahan mempunyai etika dan bermoral maka korupsi pun akan menghilang di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Etika Dengan Akuntabilitas
Akuntabilitas secara tradisional dianggap sebagai cara yang digunakan untuk
mengontrol dan perilaku administrasi langsung dengan mewajibkan "answer
ability" untuk beberapa kewenangan eksternal. Ia memiliki akar dalam
sejarah konstitusi Amerika, dan dapat dihubungkan dengan prinsip-prinsip
tersirat dalam Magna Carta serta sistem checks and balances. Dalam administrasi
publik, etika yang paling sering dikaitkan dengan standar perilaku yang
bertanggung jawab dan integritas.
Isu tentang hubungan antara kedua
menjadi pusat perdebatan sejak awal 1940-an-salah satu dari dua perdebatan yang
menetapkan agenda intelektual untuk bidang administrasi publik selama era
Perang Dingin (yang lainnya perdebatan antara Herbert Simon dan Dwight Waldo)
.1 Dalam esai 1940, 2 Friedrich berpendapat bahwa cara-cara tradisional
(misalnya, pengawasan dan pengendalian) untuk memegang administrator
bertanggung jawab tidak efektif dan tidak perlu. Hal itu wajar, katanya, untuk
tunduk kepada penilaian administrator yang rasa tanggung jawab profesional dan
kesetiaan bisa dipercaya ketika mereka melakukan kebijakan publik untuk
kepentingan nasional. Sebagai tanggapan, Finer3 menegaskan kembali pandangan
luas bahwa, meskipun rasa yang lebih besar dari tanggung jawab profesional
antara administrator saat ini, demokrasi masih memerlukan peningkatan kontrol
publik dan arah agen administrasi pertukaran itu dan tetap ekspresi klasik
hubungan konvensional antara etika dan akuntabilitas dalam publik
administration. mendasar untuk melihat bahwa adalah asumsi bahwa komitmen
administrator modern untuk melakukan sendiri bertanggung jawab (yaitu , etis,
sesuai dengan "moralitas demokratis") tidak memadai untuk memastikan
bahwa kehendak rakyat akan dilaksanakan. Akuntabilitas, dalam bentuk eksternal
(misalnya, demokratis) kendala dan kontrol, juga diperlukan. Mekanisme Akuntabilitas
diminta untuk membuat keputusan dan perilaku pejabat publik yang bertanggung
jawab, tidak hanya dalam indera hukum, politik, atau birokrasi istilah itu,
tetapi juga morally. Perilaku etis, singkatnya, diperlukan kehadiran mekanisme
akuntabilitas eksternal dalam berbagai bentuk mereka.
Apakah akuntabilitas menumbuhkan perilaku etis atau moral bertanggung
jawab? Meskipun beasiswa cukup dikhususkan untuk pemeriksaan upaya untuk
mengendalikan birokrasi melalui berbagai mekanisme akuntabilitas, eksistensi
atau efektivitas hubungan akuntabilitas-etika memiliki sistematis belum
diperiksa. Sebuah badan berkembang bekerja pada akuntabilitas menyiratkan bahwa
ia memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku administrasi tetapi tidak
, dari penelitian ini secara langsung alamat bagaimana akuntabilitas
mempengaruhi standar etika dan strategi yang diadopsi oleh administrator.
2.2 Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik
Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik
adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara
langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan
jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar.
Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan
melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat
sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan,
air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan
pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi
masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang
dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan
publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau
perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik
dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam
mencapai kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan
publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi
publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan
untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan
pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Bertens (2000) menggambarkan konsep
etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang
adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata
Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral,
yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan
Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral;
(2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber
diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika
(1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut
dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,
yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami
perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys
mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan
mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan
tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang
sudah ada.
Pada sekitar tahun 1950-an mulai
berkembang pola pemikiran baru melalui karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk
menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya
Anderson menambah satu point baru, bahwa standard- standard yang digunakan
sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai
dasar dari masyarakat yang dilayani.
Kemudian pada tahun 1960-an muncul
kembali pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang
menambah elemen baru, yaitu standar etika yang mungkin mengalami perubahan dari
waktu ke waktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan
dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar
pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua
diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry
L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms
yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan
keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi
lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat
melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan
akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang
sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam
pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis adalah
administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi,
sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan
keputusan administrasi.
2.3 Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat
diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman,
referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik.
Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya
sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya
jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan
pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri
pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah
sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat bertambah
baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big bureaucracy, giant
bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian
maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu : pertama
sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik)
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi
tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai
standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik dinilai
baik, tidak tercela dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan,
referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya antara lain adalah : (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap,
perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2)
membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak
digunakan untuk kepentingan pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan
hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif
diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur
rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada
dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi
selayaknya mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini berkaitan
dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau
promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan
(capable), dan pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap
dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil
system (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan
pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya;
(6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif,
sebab birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh
masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap
dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki
itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik
(pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik); (7)
responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan,
masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi,
tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang alur pelayanan.
Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di
atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut
telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik
dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah
timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk
penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga
pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum
cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang
lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku
(manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan
keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam
membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap
individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan
tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan).
Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas
pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik
untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita
tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama,
etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan
setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa
ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk
mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih
berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat
dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu
tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam
kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik
tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan
perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan
publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang
telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan
publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public
Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan
serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan
perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan,
respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan
publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan
profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi,
kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri
perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap
sistim merit dan program affirmative action.
2.4 Pengertian Akuntabilitas
Istilah akuntabilitas berasal dari istilah dalam bahasa Inggris
accountability yang berarti pertanggunganjawab atau keadaan untuk
dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta pertanggunganjawab.
Akuntabilitas (accountability) yaitu berfungsinya seluruh komponen penggerak
jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari
individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber
daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang
menyangkut pertanggung jawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen
untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan
publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
Pengertian akuntabilitas ini memberikan
suatu petunjuk sasaran pada hampir semua reformasi sektor publik dan mendorong
pada munculnya tekanan untuk pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggungjawab
dan untuk menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip akuntabilitas
adalah merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dimana dalam kegiatan yang
dilakukan oleh pihak yang terkait harus mampu mempertanggung jawabkan
pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugasnya. Prinsip akuntabilitas
terutama berkaitan erat dengan pertanggung jawaban terhadap efektivitas
kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan atau program yang telah
ditetapkan itu.
Pengertian akuntabilitas menurut
Lawton dan Rose dapat dikatakan sebagai sebuah proses dimana seorang atau
sekelompok orang yang diperlukan untuk membuat laporan aktivitas mereka dan
dengan cara yang mereka sudah atau belum ketahui untuk melaksanakan pekerjaan
mereka. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good corporate governance
berkaitan dengan pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang
dicapai, sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung
jawab mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan
sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi
dan komisaris. Prinsip akuntabilitas menuntut 2 (dua) hal, yaitu : 1) kemampuan
menjawab dan 2) konsekuensi. Komponen pertama (istilah yang bermula dari
responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk
menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah
digunakan dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
Aspek yang terkandung dalam
pengertian akuntabilitas adalah bahwa publik mempunyai hak untuk mengetahui
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka beri kepercayaan. Media
pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan
pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek-praktek kemudahan si
pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung
secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur
pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan penting dan dalam
suasana yang transparan dan demokrasi serta kebebasan dalam mengemukakan
pendapat. Akuntabilitas, sebagai salah satu prasyarat dari penyelenggaraan
negara yang baru, didasarkan pada konsep organisasi dalam manajemen, yang
menyangkut :
1.
Luas kewenangan dan rentang kendali (spand of control) organisasi.
2. Faktor-faktor yang dapat
dikendalikan (controllable) pada level manajemen atau tingkat kekuasaan
tertentu.
Pengendalian sebagai bagian penting dari masyarakat yang baik saling
menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa
pengendalian tidak dapat berjalan dengan efesien dan efektif bila tidak
ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik, demikian pula sebaliknya.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan
kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Sumber daya ini merupakan
masukan bagi individu maupun unit organisasi yang seharusnya dapat diukur dan
diidentifikasikan secara jelas.
Kebijakan pada dasarnya merupakan
ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi
setiap usaha dari karyawan organisasi sehingga tercapai kelancaran dan
keterpautan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam praktek pelayanan publik saat
ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema
diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari
norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai
penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi
sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak
seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus
dapat membantu memecahkan dilema tersebut.
Kadang-kadang, kita juga masih
membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa
memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang
atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam
konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua
suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat
dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat
dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk
diterapkan.
Demokrasi yang berlaku di Indonesia
adalah demokrasi Pancasila. Bukan seperti di Negara lain yang secara jelas
mengedapkan demokrasi leberal. Dimana pasar lebih banyak berperan dalam negara
dibanding pemerintah. Meskipun dalam praktiknya negara juga menggunakan
kekuasaanya dalam mengatur pasar. Termasuk dalam pembuatan peraturan/ undang -
undang. Menkipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang dibuat adalah
kebijakan yang ramah terhadap pasar.
Demokrasi di Indonesi bukan demokrasi
yang bebas namun menjunjung tinggi keadilan masyarakat dan kesejahteraan
rakyat. Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan
keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya
penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Masyarakat memiliki
hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai
perorangan, kelompok maupun organisasi.
3.1
Saran
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita
selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para
pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat
universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi
norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma
tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu
kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan
dilema tersebut.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan
kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau
berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji
bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan
yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi
swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada
kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah
yang paling tepat untuk diterapkan.
Demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Bukan
seperti di Negara lain yang secara jelas mengedapkan demokrasi liberal. Dimana
pasar lebih banyak berperan dalam negara dibanding pemerintah. Meskipun dalam
praktiknya negara juga menggunakan kekuasaanya dalam mengatur pasar. Termasuk
dalam pembuatan peraturan/ undang - undang. Menkipun tidak dapat dipungkiri
bahwa kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang ramah terhadap pasar.
Demokrasi di Indonesi bukan demokrasi yang bebas namun menjunjung tinggi
keadilan masyarakat dan kesejahteraan rakyat. Upaya pelaksanaan tata
pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk
melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum,
transparansi dan penciptaan partisipasi. Masyarakat memiliki hak untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan
pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan,
kelompok maupun organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika
Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Keban, Yeremias T. 2001. Etika
Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan
Publik di Indonesia. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi IV
Undang-undang No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar